Mengunci hati sekian tahun, membiarkan luka mengering dengan sendirinya. Aku terlalu malas berinteraksi dengan orang baru, yang mungkin akan menjadi seseorang menggantikanmu. Namun aku menutup diri.
Tak apa, aku masih dalam keadaan baik-baik saja, bahkan melihatmu, mengetahui hidupmu yang baru kini dengan dia. Yang menjadi pilihanmu. Sudahkah aku pantas di bilang perempuan yang paling tabah? Sepertinya tidak, luka kemarin belum seberapa.
Haruskah ini menjadi step terakhir dari semua perpisahan dan sebuah luka? Iya, merelakan......
Aku akui, aku belum sepenuhnya dapat memenuhi itu. Tapi kadang aku merasa, kau memang lebih pantas dengannya.
Yang mungkin membuatmu lebih 'hidup' dibanding denganku dulu.
Apa kau mau tahu, bahwa saat aku melihat sebuah foto kau dengannya. Aku tersenyum, aku baik-baik saja. Bahkan sempat mendoakanmu agar kau bahagia dengannya.
Bahkan aku sudah tak mampu menangisimu, seperti yang sebelumnya. Tak pernah rela bila kau dengan perempuan lain.
Aku egois memang. Maafkan aku ya....
Aku ingin setelah aku menuliskan surat ini, aku benar-benar bisa memenuhi upayaku untuk merelakanmu.
Debar dalam dadaku sedikit berbeda. Seperti ada luka baru, namun aku selalu merasa baik-baik saja.
Andai Tuhan mengizinkan aku bertemu denganmu di suatu tempat, aku hanya ingin mengatakan Aku menyayangimu. Dan sebentar memelukmu. Aku tak kuasa menuliskan ini... sudahlah, aku akhiri saja.
Maaf dan terimakasih atas canda tawa serta luka yg kau beri.